Rabu, 13 Juli 2011

MALOKLUSI

MALOKLUSI

2.1       Pengertian Maloklusi

Maloklusi adalah setiap keadan yang menyimpang dari oklusi normal, maloklusi juga diartikan sebagai suatu kelainan susunan gigi geligi atas dan bawah yang berhubungan dengan bentuk rongga mulut serta fungsi

Maloklusi dapat timbul kaena faktor keturunan dimana ada ketidaksesuaian besar rahang dengan besar gigi-gigi di dalam mulut. Misalnya, ukuran rahang mengikuti garis keturunan Ibu, dimana rahang berukuran kecil, sedangkan ukuran gigi mengikuti garis keturunan bapak yang giginya lebar-lebar. Gigi-gigi tersebut tidak cukup letaknya di dlaam lengkung gigi.

Kekurangan gizi juga dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang terganggu.

2.1.1    Macam-macam Maloklusi

Maloklusi dibagi 3:
Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-giginya mengalami penyimpangan
Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang
Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot, sehingga timbul gangguan saat dipakai untuk mengunyah

2.2       Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle

Kelas I Angle
Tonjol Mesiobukal M1 atas beroklusi dengan cekung bukal M1 bawah
Neutroklusi

kelas 1 angle

Kelas II Angle
Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih kemesial dari posisi kelas 1
telah melewati puncak tonjol mesiobukal M1 bawah
gigi M1 bawah lebih ke distal : Distoklusi

kelas II angle

Kelas III Angle
Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih Ke distal dari posisi klas 1
Telah melewati puncak tonjol distobukal M1 bawah
Gigi M1 bawah lebih ke mesial : Mesioklusi

kelas III angle

2.2.1    Kekurangan Klasifikasi Angle

Klasifikasi Angle ini masih merupakan system yang belum sempurna, masih terdapat kekurangan-kekurangan pada system ini, karena Dr.Angle hanya berdasarkan hubungan gigi-gigi saja dan oklusi antara lengkung gigi dirahang atas dan rahang bawah. Hingga sekarang klasifikasi Dr.Angle masih banyak dipakai. Selain itu, system ini terbatas dan tidak dapat dipakai untk segala keadaan sehingga dengan sstem ini kita tidak dapat memecahkan masalah tentang hubungan gigi-gigi. Sebaba diagnose intra oral tidak mencukupi untuk menentukan suatu anomaly, sebaiknya kita menggunakan ekstra oral dan diagnosis cephalometrik sebelum kita memasukkan anomali itu kedalam suatu kelas. Apabila kita menggunakan M1 sebagai fixed point dalam menentukan klasifikasi dalam maloklusi, maka kita akan kecewa, sebab suatu hubungan mesio-distal yang normal dari molar-molar. Dan perlu ditekankan bahwa didalam makhluk hidup tidak ada yang dinamakan fixed point, khususnya pada masa pertumbuhan. Kita masih menggunakan klasifikasi dari Dr.Angle untuk menentukan maloklusi hanyalah untuk penyederhanaan saja.

Apabila dengan system Angle kita mengalami kesulitan dalam menentukan klasifikasi dari maloklusi, maka kita dapat pula menggunakan bantuan cara gnatognatik dan fotostatik. Bukan suatu diagnosis, hanya suatu penggolongan.

2.2.2    Batasan untuk Klasifkasi Menurut Angle dalam penilaian maloklusi.

Penilaian masalah vertical dan transversal tidak termasuk ke dalam klasifikasi menurut Angle. Overbite secara umum digunakan untuk mengukur hubungan oklusal vertical pada gerigi , tapi tidak digunakan untuk pengukuran untuk hubungan vertical dari struktur facial skeletal. “Crossbites” pada bidang transversal dapat berupa masalah sederhana seperti masalah antar 2 gigi atau yang kompleks yang melibatkan sebagian besar gigi posterior maxilla dan mandibula. Klasifikasi Angle tidak menilai masalah-masalah seperti rotasi , “crowding”, dan “spacing” yang terjadi pada gigi. Faktor lain seperti ketidakadaan gigi karena factor turunan atau impaksi gigi yang membutuhkan perawatan orto , tidak berhubungan dengan klasifikasi menurut Angle. Karena itulah, percobaan epidemiologi tidak dapat mengandalkan system klasifikasi Angle , karena factor penting seperti alignment gigi, overbite,overjet, dan crossbite tidak dapat diukur.

Pengetahuan tntang hubungan antara “the angle classes” dan alignment gigi, serta masalah transversal dan vertical sangat berguna pada perlakuan kesehatan. Hubungan ini sangat membantu untuk membedakan antara masalah maloklusi simple seperti “alignment problem” pada maloklusi kelas 1 dengan maloklusi yang lebih kompleks seperti maloklusi divisi 1 kelas2 dengan crossbite posterior dan anterior.

Beberapa pendapat tentang klasifiksi Angle bersifat sangat subjektif untuk ukuran epidemiologi. Pembahasan ini dapat berlaku saat investigator tidak menyusun batas objektif pada variable seperti “tooth crowding” dan posisi anteroposterior gigi M1. Sebagai contoh, seseorang dengan hubungan molar kelas 1 dapat memiliki oklusi yang ideal ,oklusi normal, dan maloklusi kelas 1. Tiga grup ini dapat dibedakan dengan mendapatkan pengukuran secara objektif dari incisor yang tidak beres dan penilaian oklusi ideal dengan skor 0 (alignment sempurna) , oklusi normal dengan skor 1 dan skor untuk maloklusi tingkat 1 adalah >1. Terdapat kemiripan pada beberapa hubungan M1 antara kelas 1 dan 3, dan kelas 1 dan 2.Hubungan molar kelas 1, 2, dan 3 dapat dibedakan dengan dibuat sebuah jarak yang objektif, seperti 2mm mesial dan distal ke buccal groove dari bagian bawah M1 .

2.3       Klasifikasi Incisivus
Kelas 1- Incisor edge pada incisive rahang bawah oklusi atau terletak di bawah cingulum plateau incisive rahang atas



kelas I incisivus
Kelas 2- incisor edge pada incisive rahang bawah oklusi atau terletak pada bagian palatal sampai cingulum plateau pada incisive rahang atas. Terbagi menjadi:


kelas II incisivus
Pembagian :

kelas II incisivus divisi 1
Pembagian 2: central incisor rahang atas mengalami retroklinasi


kelas II incisivus divisi 2
Kelas 3-incisor edge pada rahang bawah oklusi dengan atau terletak pada bagian anterior sampai cingulum plateau pada incisive rahang bawah


kelas III incisivus

Pada oklusi yang normal adalah hubungan kelas 1 dan overjet sebesar 2-4mm.  overbite terjadi saat incisive rahang atas menutupi ¼ sampai 1/3 incisive bagian bawah pada saat oklusi.


2.4 Klasifikasi caninus:
Kelas 1- canine rahang atas beroklusi pada ruang buccal antara canine rahang bawah dan premolar  satu rahang bawah
Kelas II- canine rahang atas oklusi di anterior sampai ruang buccal di antara canine rahang bawah dan premolar satu rahang bawah.


kelas II caninus
Kelas III- canine rahang atas oklusi di posterior sampai ruang buccal di antara canine rahang bawah dan premolar satu rahang bawah.

2.5 Klasifikasi Skeletal

Hubungan rahang satu sama lain juga bervariasi pada ketiga bidang ruang, dan variasi pada setiap bidang bisa mempengaruhi.

Hubungan posisional antero-posterior dari bagian basal rahang atas dan bawah, satu sama  lain dengan gigi-gigi berada dalam keadaan oklusi, disebut sebagai hubungan skeletal. Keadaan ini kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan basis gigi atau pola skeletal. Klasifikasi dari hubungan skeletal sering digunakan, yaitu:
Klas 1 skeletal-dimana rahang berada pada hubungan antero-posterior yang ideal pada keadaan oklusi.


kelas I skeletal
Klas 2 skeletal-dimana rahang bawah pada keadaan oklusi, terletak lebih ke belakang dalam hubungannya dengan rahang atas, dibandingkan pada Klas 1 skeletal.


kelas II skeletal
klas 3 skeletal-dimana rahang bawah pada keadaan oklusi terletak lebih ke depan daripada kelas 1 skeletal.


kelas III skeletal

Contoh dari Klas 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 4.3. Tentu saja, di sini ada berbagai macam kisaran keparahan Klas 2 dan Klas 3 skelatal.

Gambar 4. 4 memperlihatkan efek variasi dari hubungan skeletal terhadap oklusi gigi-gigi jika posisi gigi pada rahang tetap konstan.

Variasi pada hubungan skeletal bisa disebabkan oleh:
Variasi ukuran rahang
Variasi posisi rahang dalam hubungannya dengan basis kranium

Jadi jika salah satu rahang terlalu besar atau kecil dalam hubungannya dengan rahang lainnya pada dimensi anteroposterior, akan dapat terjadi perkembangan hubungan klas 2 atau 3 skeletal. Selanjutnya, jika salah stau rahang terletak lebih ke belakang atau ke depan daripada yang lain dalam hubungannya dengan basis kranium, juga bisa terbentuk hubungan kelas 2 atau 3 skeletal.

Ukuran relatif dari rahang pada dimensi lateral juga mempengaruhi oklusi gigi-gigi. Idealnya, kedua rahang cocok ukurannya, sehingga oklusi dari gigi-gigi bukal pada relasi transversal adalah tepat. Kadang-kadang sebuah rahang lebih lebar dari yang lain sedemikian rupa sehingga menimbulkan oklusi dari gigi-gigi terpengaruh, menimbulkan gigitan terbalik bukal jika rahang bawah lebih lebar, atau oklusi lingual dari gigi-gigi bawah jika rahang atas yang lebih lebatr. Gigitan terbalik bukal bisa unilateral atau bilateral.

Hubungan vertikal dari rahang atas dan bawah juga mempengaruhi oklusi. Efeknya paling jelas terlihat berupa variasi bentuk rahang bawah pada sudut gonium. Mandibula dengan sudut gonium yang tinggi cenderung menimbulkan dimensi vertikal wajah  yang lebih panjang, dan pada kasus yang parah bisa menimbulkan gigitan terbuka anterior. Sebaliknya, mandibula dengan sudut gonium yang rendah cenderung menimbulkan dimensi vertikal wajah yang lebih pendek.

2.6       Klasifikasi Profitt-Ackerman

Di tahun 1960-an, Ackerman dan Profitt meresmikan sistem tambahan informal pada metode Angle dengan mengidentifikasi lima karakteristik utama dari malocclusi untuk digambarkan secara sistematis pada klasifikasi. Pendekatan tersebut menutupi kelemahan utama skema Angle. Secara spesifik, ia (1) menyertakan evaluasi pemadatan dan asimetri pada gigi dan menyertakan evaluasi incisor protrusion, (2) mengenali hubungan antara protrusion dan crowding, (3) menyertakan bidang transversal dan vertikal dan juga anteroposterior, dan (4) menyertakan informasi tentang proporsi rahang pada titik yang tepat, yaitu pada gambaran hubungan pada tiap bidang. Pengalaman membuktikan bahwa minimal lima karakteristik harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnostik lengkap.

Meskipun elemen-elemen skema Ackerman-Profitt biasanya tidak dikombinasikan seperti awalnya, sekarang banyak digunakan klasifikasi dengan lima karakteristik utama. Namun perubahan terpenting adalah penekanan yang lebih besar pada evaluasi proporsi jaringan lunak pada wajah dan hubungan gigi pada mulut dan pipi, pada senyum dan juga saat istirahat.

Penambahan Mengenai 5 Karakteristik Sistem Klasifikasi

Dua hal yang secara seksama membantu menganalisis hal ini adalah: (1) mengevaluasi orientasi dari garis estetik (esthetic line) dari pertumbuhan gigi yang berhubungan tetapi berbeda dengan fungsi garis Angle pada oklusi dan (2) menambahkan mengenai 3 dekripsi dimensional dari wajah dan hubungan gigi dengan karakteristik rotasi sekitar daerah dari setiap alat.
Estethic Line of Dentition

Pada analisis moderen, garis kurva yang lain mengkarakteistikkan kemunculan dari pertumbuhan gigi sangatlah penting. Garis estetik ini mengikuti tepi muka dari maksila gigi anterior dan gigi posterior. Orientasi dari garis ini, seperti pada kepala dan rahang yang dideskripsikan ketika terjadi rotasi yang tepat (pitch) pada aksis, perputaran (roll), dan pergeseran (yaw) sebagai tambahan pada bagian transverse, anteroposterior dan vertikal.
Ketepatan, Perputaran, Pergeseran dari dekripsi sitematik

Kunci dari aspek yang telah dijelaskan dari sistem klasifikasi di atas adalah penggabungan dari analisis sistematik dari skeletal dan hubungan gigi pada tiga bagian, sehingga tingkat kesalahan (deviasi) pada setiap arah dapat digabungkan ke dalam daftar masalah pasien. Deskripsi yang lengkap membutuhkan pertimbangan dari kedua pergerakan secara translasi (ke depan/ke belakang, ke atas/ke bawah, ke kiri/ke kanan) pada bidang tiga dimensi dan rotasi mengenai garis tegak lurus pada aksis dengan posisi yang tepat, berputar atau bergeser (pitch, roll, dan yaw). Pengenalan dari rotasi aksis ke dalam deskripsi yang sistematis dari ciri dentofacial secara signifikan meningkatkan ketelitian dari pendeskripsian dan dengan demikian terjadi peningkatan fasilitas terhadap setiap masalah yang ada.

Ketepatan, perputaran, dan pergeseran dari garis estetik pertumbuhan gigi berguna untuk mengevaluasi hubungan gigi dengan jaringan lunak. Dari pandangan ini, rotasi ke atas/ ke bawah yang berlebihan dari gigi dan cenderung pada bibir dan dagu dapat diperhatikan sebagai salah satu aspek dari ketepatan. Ketepatan dari pertumbuhan gigi cenderung pada jaringan lunak di daerah wajah dan harus dievaluasi dengan percobaan klinis. Ketepatan dari rahang dan gigi satu dengan yang lainnya serta otot skeletal di wajah dapat diperhatikan secara klinis, tetapi harus dipastikan dengan menggunakan cephalometric radiograph pada klasifikasi akhir, di mana ketepatan dinyatakan sebagai orientasi/patokan dari palatum, oklusal, dan daerah mandibula ke bagian horisontal yang benar.

Perputaran (roll) dideskripsikan sebagai perputaran/rotasi ke atas dan ke bawah pada satu sisi atau sisi yang lain. Pada percobaan klinis, hal ini sangat penting untuk menghubungkan orientasi transverse dari gigi (garis estetik) dengan kedua jaringan lunak dan skeleton pada wajah. Hubungan dengan jaringan lunak dievaluasi secara klinis dengan garis intercommissure sebagai referensi. Baik cetakan maupun foto dapat digunakan untuk menandai bagian oklusal (Fox plane) yang akan memperlihatkan bagian frontal maupun oblique ketika bibir tersenyum. Hubungan skeleton wajah memeperlihatkan keterkaitan dengan garis interokular. Penggunaan Fox plane adalah dengan memberi tanda pada kemiringan dari bidang oklusi yang dapat memepermudah untuk memperlihatkan hubungan gigi pada garis oklusal namun dengan perlengkapan ini tidak mungkin untuk dapat melihat hubungan gigi dengan garis intercommissure. Hal ini membuat dokter gigi dapat mendeteksi ketidaksesuaian antara sisi-sisi dari gigi ke bibir yang berjarak 1mm sedangkan pada orang normal berjarak 3mm.

Rotasi dari rahang dan gigi satu dengan yang lainnya disekitar aksis vertikal memproduksi skeletal atau ketidaksesuain garis tengah yang disebut dengan pergeseran. Pergerakan gigi yang relatif ke rahang, atau pergerakan dari rahang bawah atau rahang atas yang mengambil gigi dengan hal itu, dapat terjadi. Efek pergerakan, selain gigi dan atau penyimpangan yang skeletal midline, biasanya terjadi secara unilateral antara hubungan Kelas II atau Kelas II molar. Pergerakan yang ekstrim berhubungan dengan asmetris posterior crossbite, buccal pada satu sisi dan pada bagian lingual yang lain. Pergerakan meninggalkan klasifikasi sebelumnya, tetapi pada bagian transverse yang asimetris memudahkan pendeskripsisan hubungan yang akurat.

Penyimpangan midline gigi hanya dapat sebagai bayangan dari salah penempatan incisive karena gigi yang tumpang tindih. Hal ini harus dibedakan dari ketidaksesuaian pergerakan dimana seluruh lengkung gigi dapat berputar di satu sisi. Jika ketidaksesuaian pergerakan terjadi, pertanyaan berikutnya adalah apakah rahang itu sendiri mengalami penyimpangan, atau apakah gigi cenderung menyimpang ke arah rahang. Penyimpangan pergerakkan maksila dapat terjadi namun jarang, suatu kasus asimetri dari mandibula terjadi pada 40% pasien dari pasien normal mandibular pertumbuhan yang berlebihan, dan pada pasien ini giginya akan cenderung mengalami penyimpangan dalam penyeimbangan arah ke rahang. Hal ini dapat terdeteksi dengan pemeriksaan klinis dengan seksama karena mungkin tidak terlihat jelas dalam catatan diagnostik.
Meskipun merupakan  tambahan kepada evaluasi diagnostik, ciri-ciri dentofacial harus dapat menggambarkan lima karakteristik utama. Pemeriksaan lima karakteristik utama sesuai dengan urutan akan mempermudah dalam mengorganisir informasi diagnostik untuk meyakinkan bahwa tidak ada hal penting yang terlewatkan.

2.7       Maloklusi Dental dan Skeletal

Klasifikasi melalui 5 karakteristik ciri dentofacial
Penampakan dentofacial

Perbandingan frontal dan oblique facial, gigi anterior, orientasi terhadap garis estetik oklusi, profil
Penjajaran (allignment)

Rapat/ terdapat ruang, membentuk lengkung, simetris, orientasi terhadap garis fungsional oklusi
Anteroposterior

Klasifikasi Angle, skeletal dan dental
Transverse

Crossbite, skeletal dan dental
Vertikal

Kedalaman menggigit, skeletal dan dental


2.8 Maloklusi dalam Sistem Stomatognatik

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi efek dari maloklusi terhadap kinerja mastikasi. Pasien dewasa dengan maloklusi dental dan skeletal yang parah memiliki kemampuan mastikasi terbatas dibandingkan dengan individu yang oklusinya normal.

Beberapa penelitian juga telah mengevaluasi efek dari maloklusi terhadap kinerja mastikasi pada anak-anak. Manly and Hoffmeistr melaporkan bahwa anak-anak dengan maloklusi kelas I dan kelas II memiliki kemampuan mastikasi yang sama dengan anak-anak oklusi normal, dan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kinerja mastikasinya, tetapi anak-anak dengan maloklusi kelas III tidak memiliki kemampuan mastikasi sebaik anak-anak dengan maloklusi kelas I dan II.

Sebenarnya maloklusi tidak mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menggigit dan memroses makanan. Tetapi jika dibandingkan dengan maloklusi kelas I, kelas II, dan kelas III, individu dengan oklusi normal dapat menghasilkan distribusi partikel yang lebih luas sehingga mengidikasikan adanya kemampuan mastikasi yang lebih baik.

Setiap penyimpangan dari oklusi statis serta fungsional yang ideal akan bisa menimbulkan kelainan pada komponen-komponen sistem pengungunyahan yang lain, khususnya sendi temporomandibula dan otot-otot pengunyahan. Anggapan ini tidak benar sejauh menyangkut oklusi alami. Banyak penelitian yang sudah dilakukan pada pasien dengan disfungsi sendi temporomandibular dan otot. Kebanyakan peneliti sependapat bahwa masalah ini mempunyai etiologi multifaktor, dengan maloklusi sebagai salah satu faktor di antaranya, tetapi tidak ada faktor tunggal yang bisa menimbulkan masalah ini. Sebaliknya, penelitian-penelitian mengenai maloklusi sebagian besar gagal untuk menemukan hubungan yang pasti antara tipe atau keparahan suatu maloklusi dengan disfungsi temporomandibular. Meskipun demikian, disfungsi oklusal bisa timbul akibat perawatan ortodonsi, bahkan dewasa ini makin tumbuh kesadaran bahwa di samping upaya untuk mendapatkan oklusi statis yang ideal, perawatan ortodonsi juga harus dilakukan dengan tujuan mendapatkan oklusi fungsional yang baik.