Rabu, 13 Juli 2011

MALOKLUSI

MALOKLUSI

2.1       Pengertian Maloklusi

Maloklusi adalah setiap keadan yang menyimpang dari oklusi normal, maloklusi juga diartikan sebagai suatu kelainan susunan gigi geligi atas dan bawah yang berhubungan dengan bentuk rongga mulut serta fungsi

Maloklusi dapat timbul kaena faktor keturunan dimana ada ketidaksesuaian besar rahang dengan besar gigi-gigi di dalam mulut. Misalnya, ukuran rahang mengikuti garis keturunan Ibu, dimana rahang berukuran kecil, sedangkan ukuran gigi mengikuti garis keturunan bapak yang giginya lebar-lebar. Gigi-gigi tersebut tidak cukup letaknya di dlaam lengkung gigi.

Kekurangan gizi juga dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang terganggu.

2.1.1    Macam-macam Maloklusi

Maloklusi dibagi 3:
Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-giginya mengalami penyimpangan
Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang
Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot, sehingga timbul gangguan saat dipakai untuk mengunyah

2.2       Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle

Kelas I Angle
Tonjol Mesiobukal M1 atas beroklusi dengan cekung bukal M1 bawah
Neutroklusi

kelas 1 angle

Kelas II Angle
Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih kemesial dari posisi kelas 1
telah melewati puncak tonjol mesiobukal M1 bawah
gigi M1 bawah lebih ke distal : Distoklusi

kelas II angle

Kelas III Angle
Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih Ke distal dari posisi klas 1
Telah melewati puncak tonjol distobukal M1 bawah
Gigi M1 bawah lebih ke mesial : Mesioklusi

kelas III angle

2.2.1    Kekurangan Klasifikasi Angle

Klasifikasi Angle ini masih merupakan system yang belum sempurna, masih terdapat kekurangan-kekurangan pada system ini, karena Dr.Angle hanya berdasarkan hubungan gigi-gigi saja dan oklusi antara lengkung gigi dirahang atas dan rahang bawah. Hingga sekarang klasifikasi Dr.Angle masih banyak dipakai. Selain itu, system ini terbatas dan tidak dapat dipakai untk segala keadaan sehingga dengan sstem ini kita tidak dapat memecahkan masalah tentang hubungan gigi-gigi. Sebaba diagnose intra oral tidak mencukupi untuk menentukan suatu anomaly, sebaiknya kita menggunakan ekstra oral dan diagnosis cephalometrik sebelum kita memasukkan anomali itu kedalam suatu kelas. Apabila kita menggunakan M1 sebagai fixed point dalam menentukan klasifikasi dalam maloklusi, maka kita akan kecewa, sebab suatu hubungan mesio-distal yang normal dari molar-molar. Dan perlu ditekankan bahwa didalam makhluk hidup tidak ada yang dinamakan fixed point, khususnya pada masa pertumbuhan. Kita masih menggunakan klasifikasi dari Dr.Angle untuk menentukan maloklusi hanyalah untuk penyederhanaan saja.

Apabila dengan system Angle kita mengalami kesulitan dalam menentukan klasifikasi dari maloklusi, maka kita dapat pula menggunakan bantuan cara gnatognatik dan fotostatik. Bukan suatu diagnosis, hanya suatu penggolongan.

2.2.2    Batasan untuk Klasifkasi Menurut Angle dalam penilaian maloklusi.

Penilaian masalah vertical dan transversal tidak termasuk ke dalam klasifikasi menurut Angle. Overbite secara umum digunakan untuk mengukur hubungan oklusal vertical pada gerigi , tapi tidak digunakan untuk pengukuran untuk hubungan vertical dari struktur facial skeletal. “Crossbites” pada bidang transversal dapat berupa masalah sederhana seperti masalah antar 2 gigi atau yang kompleks yang melibatkan sebagian besar gigi posterior maxilla dan mandibula. Klasifikasi Angle tidak menilai masalah-masalah seperti rotasi , “crowding”, dan “spacing” yang terjadi pada gigi. Faktor lain seperti ketidakadaan gigi karena factor turunan atau impaksi gigi yang membutuhkan perawatan orto , tidak berhubungan dengan klasifikasi menurut Angle. Karena itulah, percobaan epidemiologi tidak dapat mengandalkan system klasifikasi Angle , karena factor penting seperti alignment gigi, overbite,overjet, dan crossbite tidak dapat diukur.

Pengetahuan tntang hubungan antara “the angle classes” dan alignment gigi, serta masalah transversal dan vertical sangat berguna pada perlakuan kesehatan. Hubungan ini sangat membantu untuk membedakan antara masalah maloklusi simple seperti “alignment problem” pada maloklusi kelas 1 dengan maloklusi yang lebih kompleks seperti maloklusi divisi 1 kelas2 dengan crossbite posterior dan anterior.

Beberapa pendapat tentang klasifiksi Angle bersifat sangat subjektif untuk ukuran epidemiologi. Pembahasan ini dapat berlaku saat investigator tidak menyusun batas objektif pada variable seperti “tooth crowding” dan posisi anteroposterior gigi M1. Sebagai contoh, seseorang dengan hubungan molar kelas 1 dapat memiliki oklusi yang ideal ,oklusi normal, dan maloklusi kelas 1. Tiga grup ini dapat dibedakan dengan mendapatkan pengukuran secara objektif dari incisor yang tidak beres dan penilaian oklusi ideal dengan skor 0 (alignment sempurna) , oklusi normal dengan skor 1 dan skor untuk maloklusi tingkat 1 adalah >1. Terdapat kemiripan pada beberapa hubungan M1 antara kelas 1 dan 3, dan kelas 1 dan 2.Hubungan molar kelas 1, 2, dan 3 dapat dibedakan dengan dibuat sebuah jarak yang objektif, seperti 2mm mesial dan distal ke buccal groove dari bagian bawah M1 .

2.3       Klasifikasi Incisivus
Kelas 1- Incisor edge pada incisive rahang bawah oklusi atau terletak di bawah cingulum plateau incisive rahang atas



kelas I incisivus
Kelas 2- incisor edge pada incisive rahang bawah oklusi atau terletak pada bagian palatal sampai cingulum plateau pada incisive rahang atas. Terbagi menjadi:


kelas II incisivus
Pembagian :

kelas II incisivus divisi 1
Pembagian 2: central incisor rahang atas mengalami retroklinasi


kelas II incisivus divisi 2
Kelas 3-incisor edge pada rahang bawah oklusi dengan atau terletak pada bagian anterior sampai cingulum plateau pada incisive rahang bawah


kelas III incisivus

Pada oklusi yang normal adalah hubungan kelas 1 dan overjet sebesar 2-4mm.  overbite terjadi saat incisive rahang atas menutupi ¼ sampai 1/3 incisive bagian bawah pada saat oklusi.


2.4 Klasifikasi caninus:
Kelas 1- canine rahang atas beroklusi pada ruang buccal antara canine rahang bawah dan premolar  satu rahang bawah
Kelas II- canine rahang atas oklusi di anterior sampai ruang buccal di antara canine rahang bawah dan premolar satu rahang bawah.


kelas II caninus
Kelas III- canine rahang atas oklusi di posterior sampai ruang buccal di antara canine rahang bawah dan premolar satu rahang bawah.

2.5 Klasifikasi Skeletal

Hubungan rahang satu sama lain juga bervariasi pada ketiga bidang ruang, dan variasi pada setiap bidang bisa mempengaruhi.

Hubungan posisional antero-posterior dari bagian basal rahang atas dan bawah, satu sama  lain dengan gigi-gigi berada dalam keadaan oklusi, disebut sebagai hubungan skeletal. Keadaan ini kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan basis gigi atau pola skeletal. Klasifikasi dari hubungan skeletal sering digunakan, yaitu:
Klas 1 skeletal-dimana rahang berada pada hubungan antero-posterior yang ideal pada keadaan oklusi.


kelas I skeletal
Klas 2 skeletal-dimana rahang bawah pada keadaan oklusi, terletak lebih ke belakang dalam hubungannya dengan rahang atas, dibandingkan pada Klas 1 skeletal.


kelas II skeletal
klas 3 skeletal-dimana rahang bawah pada keadaan oklusi terletak lebih ke depan daripada kelas 1 skeletal.


kelas III skeletal

Contoh dari Klas 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 4.3. Tentu saja, di sini ada berbagai macam kisaran keparahan Klas 2 dan Klas 3 skelatal.

Gambar 4. 4 memperlihatkan efek variasi dari hubungan skeletal terhadap oklusi gigi-gigi jika posisi gigi pada rahang tetap konstan.

Variasi pada hubungan skeletal bisa disebabkan oleh:
Variasi ukuran rahang
Variasi posisi rahang dalam hubungannya dengan basis kranium

Jadi jika salah satu rahang terlalu besar atau kecil dalam hubungannya dengan rahang lainnya pada dimensi anteroposterior, akan dapat terjadi perkembangan hubungan klas 2 atau 3 skeletal. Selanjutnya, jika salah stau rahang terletak lebih ke belakang atau ke depan daripada yang lain dalam hubungannya dengan basis kranium, juga bisa terbentuk hubungan kelas 2 atau 3 skeletal.

Ukuran relatif dari rahang pada dimensi lateral juga mempengaruhi oklusi gigi-gigi. Idealnya, kedua rahang cocok ukurannya, sehingga oklusi dari gigi-gigi bukal pada relasi transversal adalah tepat. Kadang-kadang sebuah rahang lebih lebar dari yang lain sedemikian rupa sehingga menimbulkan oklusi dari gigi-gigi terpengaruh, menimbulkan gigitan terbalik bukal jika rahang bawah lebih lebar, atau oklusi lingual dari gigi-gigi bawah jika rahang atas yang lebih lebatr. Gigitan terbalik bukal bisa unilateral atau bilateral.

Hubungan vertikal dari rahang atas dan bawah juga mempengaruhi oklusi. Efeknya paling jelas terlihat berupa variasi bentuk rahang bawah pada sudut gonium. Mandibula dengan sudut gonium yang tinggi cenderung menimbulkan dimensi vertikal wajah  yang lebih panjang, dan pada kasus yang parah bisa menimbulkan gigitan terbuka anterior. Sebaliknya, mandibula dengan sudut gonium yang rendah cenderung menimbulkan dimensi vertikal wajah yang lebih pendek.

2.6       Klasifikasi Profitt-Ackerman

Di tahun 1960-an, Ackerman dan Profitt meresmikan sistem tambahan informal pada metode Angle dengan mengidentifikasi lima karakteristik utama dari malocclusi untuk digambarkan secara sistematis pada klasifikasi. Pendekatan tersebut menutupi kelemahan utama skema Angle. Secara spesifik, ia (1) menyertakan evaluasi pemadatan dan asimetri pada gigi dan menyertakan evaluasi incisor protrusion, (2) mengenali hubungan antara protrusion dan crowding, (3) menyertakan bidang transversal dan vertikal dan juga anteroposterior, dan (4) menyertakan informasi tentang proporsi rahang pada titik yang tepat, yaitu pada gambaran hubungan pada tiap bidang. Pengalaman membuktikan bahwa minimal lima karakteristik harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnostik lengkap.

Meskipun elemen-elemen skema Ackerman-Profitt biasanya tidak dikombinasikan seperti awalnya, sekarang banyak digunakan klasifikasi dengan lima karakteristik utama. Namun perubahan terpenting adalah penekanan yang lebih besar pada evaluasi proporsi jaringan lunak pada wajah dan hubungan gigi pada mulut dan pipi, pada senyum dan juga saat istirahat.

Penambahan Mengenai 5 Karakteristik Sistem Klasifikasi

Dua hal yang secara seksama membantu menganalisis hal ini adalah: (1) mengevaluasi orientasi dari garis estetik (esthetic line) dari pertumbuhan gigi yang berhubungan tetapi berbeda dengan fungsi garis Angle pada oklusi dan (2) menambahkan mengenai 3 dekripsi dimensional dari wajah dan hubungan gigi dengan karakteristik rotasi sekitar daerah dari setiap alat.
Estethic Line of Dentition

Pada analisis moderen, garis kurva yang lain mengkarakteistikkan kemunculan dari pertumbuhan gigi sangatlah penting. Garis estetik ini mengikuti tepi muka dari maksila gigi anterior dan gigi posterior. Orientasi dari garis ini, seperti pada kepala dan rahang yang dideskripsikan ketika terjadi rotasi yang tepat (pitch) pada aksis, perputaran (roll), dan pergeseran (yaw) sebagai tambahan pada bagian transverse, anteroposterior dan vertikal.
Ketepatan, Perputaran, Pergeseran dari dekripsi sitematik

Kunci dari aspek yang telah dijelaskan dari sistem klasifikasi di atas adalah penggabungan dari analisis sistematik dari skeletal dan hubungan gigi pada tiga bagian, sehingga tingkat kesalahan (deviasi) pada setiap arah dapat digabungkan ke dalam daftar masalah pasien. Deskripsi yang lengkap membutuhkan pertimbangan dari kedua pergerakan secara translasi (ke depan/ke belakang, ke atas/ke bawah, ke kiri/ke kanan) pada bidang tiga dimensi dan rotasi mengenai garis tegak lurus pada aksis dengan posisi yang tepat, berputar atau bergeser (pitch, roll, dan yaw). Pengenalan dari rotasi aksis ke dalam deskripsi yang sistematis dari ciri dentofacial secara signifikan meningkatkan ketelitian dari pendeskripsian dan dengan demikian terjadi peningkatan fasilitas terhadap setiap masalah yang ada.

Ketepatan, perputaran, dan pergeseran dari garis estetik pertumbuhan gigi berguna untuk mengevaluasi hubungan gigi dengan jaringan lunak. Dari pandangan ini, rotasi ke atas/ ke bawah yang berlebihan dari gigi dan cenderung pada bibir dan dagu dapat diperhatikan sebagai salah satu aspek dari ketepatan. Ketepatan dari pertumbuhan gigi cenderung pada jaringan lunak di daerah wajah dan harus dievaluasi dengan percobaan klinis. Ketepatan dari rahang dan gigi satu dengan yang lainnya serta otot skeletal di wajah dapat diperhatikan secara klinis, tetapi harus dipastikan dengan menggunakan cephalometric radiograph pada klasifikasi akhir, di mana ketepatan dinyatakan sebagai orientasi/patokan dari palatum, oklusal, dan daerah mandibula ke bagian horisontal yang benar.

Perputaran (roll) dideskripsikan sebagai perputaran/rotasi ke atas dan ke bawah pada satu sisi atau sisi yang lain. Pada percobaan klinis, hal ini sangat penting untuk menghubungkan orientasi transverse dari gigi (garis estetik) dengan kedua jaringan lunak dan skeleton pada wajah. Hubungan dengan jaringan lunak dievaluasi secara klinis dengan garis intercommissure sebagai referensi. Baik cetakan maupun foto dapat digunakan untuk menandai bagian oklusal (Fox plane) yang akan memperlihatkan bagian frontal maupun oblique ketika bibir tersenyum. Hubungan skeleton wajah memeperlihatkan keterkaitan dengan garis interokular. Penggunaan Fox plane adalah dengan memberi tanda pada kemiringan dari bidang oklusi yang dapat memepermudah untuk memperlihatkan hubungan gigi pada garis oklusal namun dengan perlengkapan ini tidak mungkin untuk dapat melihat hubungan gigi dengan garis intercommissure. Hal ini membuat dokter gigi dapat mendeteksi ketidaksesuaian antara sisi-sisi dari gigi ke bibir yang berjarak 1mm sedangkan pada orang normal berjarak 3mm.

Rotasi dari rahang dan gigi satu dengan yang lainnya disekitar aksis vertikal memproduksi skeletal atau ketidaksesuain garis tengah yang disebut dengan pergeseran. Pergerakan gigi yang relatif ke rahang, atau pergerakan dari rahang bawah atau rahang atas yang mengambil gigi dengan hal itu, dapat terjadi. Efek pergerakan, selain gigi dan atau penyimpangan yang skeletal midline, biasanya terjadi secara unilateral antara hubungan Kelas II atau Kelas II molar. Pergerakan yang ekstrim berhubungan dengan asmetris posterior crossbite, buccal pada satu sisi dan pada bagian lingual yang lain. Pergerakan meninggalkan klasifikasi sebelumnya, tetapi pada bagian transverse yang asimetris memudahkan pendeskripsisan hubungan yang akurat.

Penyimpangan midline gigi hanya dapat sebagai bayangan dari salah penempatan incisive karena gigi yang tumpang tindih. Hal ini harus dibedakan dari ketidaksesuaian pergerakan dimana seluruh lengkung gigi dapat berputar di satu sisi. Jika ketidaksesuaian pergerakan terjadi, pertanyaan berikutnya adalah apakah rahang itu sendiri mengalami penyimpangan, atau apakah gigi cenderung menyimpang ke arah rahang. Penyimpangan pergerakkan maksila dapat terjadi namun jarang, suatu kasus asimetri dari mandibula terjadi pada 40% pasien dari pasien normal mandibular pertumbuhan yang berlebihan, dan pada pasien ini giginya akan cenderung mengalami penyimpangan dalam penyeimbangan arah ke rahang. Hal ini dapat terdeteksi dengan pemeriksaan klinis dengan seksama karena mungkin tidak terlihat jelas dalam catatan diagnostik.
Meskipun merupakan  tambahan kepada evaluasi diagnostik, ciri-ciri dentofacial harus dapat menggambarkan lima karakteristik utama. Pemeriksaan lima karakteristik utama sesuai dengan urutan akan mempermudah dalam mengorganisir informasi diagnostik untuk meyakinkan bahwa tidak ada hal penting yang terlewatkan.

2.7       Maloklusi Dental dan Skeletal

Klasifikasi melalui 5 karakteristik ciri dentofacial
Penampakan dentofacial

Perbandingan frontal dan oblique facial, gigi anterior, orientasi terhadap garis estetik oklusi, profil
Penjajaran (allignment)

Rapat/ terdapat ruang, membentuk lengkung, simetris, orientasi terhadap garis fungsional oklusi
Anteroposterior

Klasifikasi Angle, skeletal dan dental
Transverse

Crossbite, skeletal dan dental
Vertikal

Kedalaman menggigit, skeletal dan dental


2.8 Maloklusi dalam Sistem Stomatognatik

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi efek dari maloklusi terhadap kinerja mastikasi. Pasien dewasa dengan maloklusi dental dan skeletal yang parah memiliki kemampuan mastikasi terbatas dibandingkan dengan individu yang oklusinya normal.

Beberapa penelitian juga telah mengevaluasi efek dari maloklusi terhadap kinerja mastikasi pada anak-anak. Manly and Hoffmeistr melaporkan bahwa anak-anak dengan maloklusi kelas I dan kelas II memiliki kemampuan mastikasi yang sama dengan anak-anak oklusi normal, dan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kinerja mastikasinya, tetapi anak-anak dengan maloklusi kelas III tidak memiliki kemampuan mastikasi sebaik anak-anak dengan maloklusi kelas I dan II.

Sebenarnya maloklusi tidak mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menggigit dan memroses makanan. Tetapi jika dibandingkan dengan maloklusi kelas I, kelas II, dan kelas III, individu dengan oklusi normal dapat menghasilkan distribusi partikel yang lebih luas sehingga mengidikasikan adanya kemampuan mastikasi yang lebih baik.

Setiap penyimpangan dari oklusi statis serta fungsional yang ideal akan bisa menimbulkan kelainan pada komponen-komponen sistem pengungunyahan yang lain, khususnya sendi temporomandibula dan otot-otot pengunyahan. Anggapan ini tidak benar sejauh menyangkut oklusi alami. Banyak penelitian yang sudah dilakukan pada pasien dengan disfungsi sendi temporomandibular dan otot. Kebanyakan peneliti sependapat bahwa masalah ini mempunyai etiologi multifaktor, dengan maloklusi sebagai salah satu faktor di antaranya, tetapi tidak ada faktor tunggal yang bisa menimbulkan masalah ini. Sebaliknya, penelitian-penelitian mengenai maloklusi sebagian besar gagal untuk menemukan hubungan yang pasti antara tipe atau keparahan suatu maloklusi dengan disfungsi temporomandibular. Meskipun demikian, disfungsi oklusal bisa timbul akibat perawatan ortodonsi, bahkan dewasa ini makin tumbuh kesadaran bahwa di samping upaya untuk mendapatkan oklusi statis yang ideal, perawatan ortodonsi juga harus dilakukan dengan tujuan mendapatkan oklusi fungsional yang baik.

Kamis, 02 Desember 2010

Struktur Gigi

Telah diketahui bahwa gigi merupakan bagian tubuh yang sangat kuat berfungsi sebagai alat pengunyah dan kecantikan. Bayangkan saja bila kita tidak memiliki gigi, bagaimana cara kita makan, apakah ditelan begitu saja? Tidak mungkin juga, kan? Lantas, bagaimana juga bentuk wajah kita apabila tidak ada sokongan dari gigi, mungkin bisa kempot pipi kita, dan yang paling mengerikan adalah saat tertawa atau tersenyum nantinya.. hehe..

Untuk itu, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk memsyukuri satu anugerah ini. Sangat bersyukurlah kita terlahir dengan dikaruniai sekelompok gigi, jadi mari kita awali rasa syukur kita dengan mengenal bagaimana struktur gigi kita sebenarnya, namun pada tulisan kali ini akan lebih dibahas mengenai struktur jaringan keras gigi kita.

Gigi terbagi dalam dua bagian besar yaitu mahkota dan akar. Mahkota adalah bagian gigi yang terlihat dalam mulut, sedangkan akar adalah bagian yang tertanam dalam tulang rahang. Sedangkan secara struktur, gigi merupakan salah satu jaringan keras tubuh yang terdiri dari enamel/email, dentin, dan sementum. Anda bisa melihat pada gambar di bawah ini.


Struktur Gigi

Untuk enamel/email, sebenarnya bagian ini merupakan bagian gigi yang paling keras. Enamel inilah yang melapisi mahkota gigi dan mempunyai ketebalan yang bervariasi mulai bagian puncak mahkota dan akan semakin menipis ketebalannya pada dasar mahkota, tepatnya pada perbatasan mahkota dengan akar gigi. Warna enamel gigi pun sebenarnya tidak putih mutlak, kebanyakan lebih mengarah keabu-abuan dan semi translusen. Kecuali pada kondisi enamel yang abnormal seringkali menghasilkan warna yang menyimpang dari warna normal enamel dan cenderung mengarah ke warna yang lebih gelap.

Semakin menuju ke bagian dalam dari enamel, kekerasannya akan semakin berkurang. Bagian enamel ini pula yang menjadi awal terjadinya lubang pada gigi, karena sifatnya mudah larut terhadap asam, dan kelarutannya juga meningkat seiring dengan semakin dalamnya lapisan enamel. Untuk itu kenapa kita sering mendengar anjuran untuk sering menggosok gigi adalah agar kondisi enamel gigi kita bisa dicegah dari kondisi asam seminimal mungkin

Bagian yang lebih dalam dari enamel adalah dentin. Dentin merupakan bagian yang terluas dari struktur gigi, meliputi seluruh panjang gigi mulai dari mahkota hingga akar. Dentin pada mahkota gigi dentin dilapisi oleh enamel, sedangkan dentin pada akar gigi dilapisi oleh sementum. Kalau kita amati, bagian ini memegang peranan yang sangat penting yaitu sebagai pelindung dari ruang pulpa. Jadi sebenarnya bagian inilah yang menjadi pertahanan kedua gigi kita setelah enamel.

Jaringan keras yang terakhir dari sebuah gigi adalah sementum atau pada gamber di atas dinamakan semen. Layaknya enamel yang melapisi dentin pada bagian mahkota, sementum juga melapisi dentin namun untuk dentin pada bagian akar gigi. Sementum ini secara normal tidak tampak dari pandangan kita, namun tertutup oleh tulang dan dilapisi oleh gusi. Pada beberapa kondisi abnormal, sementum akan tampak.

Semua struktur jaringan keras gigi akan berintegrasi membentuk struktur yang lebih kuat. Bayangkan jaringan-jaringan keras ini melindungi struktur-struktur di bawah gigi bahkan struktur lain di sekitar gigi. Bagaimana tidak, bayangkan saja berapa kali kita mengunyah setiap harinya? Pernahkah anda membayangkan jika anda melakukan gerakan mengunyah ribuan kali dalam sehari, dan anda sudah menggunakannya selama bertahun-tahun? Mungkin jika anda kalkulasikan, sudah jutaan bahkan triliyunan kali anda melakukan gerakan mengunyah yang tidak lain dibantu oleh gigi…

sumber : http://doktergigikeluarga.com/mengenal-struktur-gigi-lebih-dekat

Selasa, 16 November 2010

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erupsi Gigi

Erupsi gigi adalah proses yang bervariasi pada setiap anak. Variasi ini masih
dianggap sebagai suatu keadaan yang normal jika lamanya perbedaan waktu erupsi
gigi masih berkisar antara 2 tahun. Variasi dalam erupsi gigi dapat disebabkan oleh
faktor yaitu:
 Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai pengaruh terbesar dalam menentukan waktu dan urutan erupsi gigi yaitu sekitar 78%, termasuk proses kalsifikasi.
 Faktor Jenis Kelamin
Pada umumnya waktu erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibandingkan anak laki-laki. Perbedaan ini berkisar antara 1 hingga 6 bulan. Waktu erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibanding dengan anak laki-laki disebabkan faktor hormon yaitu estrogen yang memainkan peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan sewaktu anak perempuan mencapai pubertas.
 Faktor Ras
Waktu erupsi gigi orang Eropa dan campuran Amerika dengan Eropa lebih lambat daripada waktu erupsi orang Amerika berkulit hitam dan Amerika Indian. Orang Amerika, Swiss, Perancis, Inggris, dan Swedia termasuk dalam ras yang sama yaitu Kaukasoid dan tidak menunjukkan perbedaan waktu erupsi yang terlalu besar.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan tidak banyak mempengaruhi pola erupsi. Faktor tersebut adalah:
1. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi dapat mempengaruhi keadaan nutrisi, kesehatan
seseorang. Anak dengan tingkat ekonomi rendah cenderung menunjukkan waktu
erupsi gigi yang lebih lambat dibandingkan anak dengan tingkat ekonomi
menengah.
2. Nutrisi
Nutrisi sebagai faktor pertumbuhan dapat mempengaruhi erupsi dan proses
kalsifikasi. Keterlambatan waktu erupsi gigi dapat dipengaruhi oleh
faktor kekurangan nutrisi, seperti vitamin D dan gangguan kelenjar endokrin.
Faktor lokal
Faktor-faktor lokal yang dapat mempengaruhi erupsi gigi adalah jarak gigi ke
tempat erupsi, malformasi gigi, persistensi gigi desidui, adanya gigi berlebih, trauma
terhadap benih gigi, mukosa gusi yang menebal, ankilosis pada akar gigi, dan gigi
sulung yang tanggal sebelum waktunya.
Faktor Penyakit
Gangguan pada erupsi gigi desidui dan gigi permanen dapat disebabkan oleh
penyakit sistemik seperti Down syndrome, Cleidocranial dysostosis,
Hypothyroidism, Hypopituitarism, beberapa tipe dari Craniofacial synostosis dan
Hemifacial atrophy.

Tahap Erupsi gigi

Erupsi gigi merupakan suatu proses yang berkesinambungan dimulai dari
awal pembentukan melalui beberapa tahap sampai gigi muncul ke rongga mulut. Ada
dua fase yang penting dalam proses erupsi gigi, yaitu erupsi aktif dan pasif. Erupsi
aktif adalah pergerakan gigi yang didominasi oleh gerakan ke arah vertikal, sejak
mahkota gigi bergerak dari tempat pembentukannya di dalam rahang sampai
mencapai oklusi fungsional dalam rongga mulut, sedangkan erupsi pasif adalah
pergerakan gusi ke arah apeks yang menyebabkan mahkota klinis bertambah panjang
dan akar klinis bertambah pendek sebagai akibat adanya perubahan pada perlekatan
epitel di daerah apikal.
Gigi desidui yang juga dikenal dengan gigi primer jumlahnya 20 di rongga
mulut, yang terdiri dari insisivus sentralis, insisivus lateralis, kaninus, molar satu,
dan molar dua dimana terdapat sepasang pada maksila dan mandibula masingmasing.
Pada usia 6 bulan setelah kelahiran, gigi insisivus sentralis mandibula yang
merupakan gigi yang pertama muncul di rongga mulut, dan berakhir dengan
erupsinya gigi molar dua maksila.
Erupsi gigi permanen pada umumnya terjadi antara usia 5 sampai 13 tahun
kecuali gigi permanen molar tiga (erupsi antara 17 sampai 21 tahun), juga seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan pubertas.
Gigi                          Kalsifikasi          Enamel terbentuk         Erupsi
Insisivus sentralis       3 - 4 bulan          4 - 5 tahun               7 - 8 tahun
Insisivus lateralis      10 – 12 bulan       4 - 5 tahun               8 - 9 tahun
Kaninus                    4 - 5 bulan          6 - 7 tahun             11 - 12 tahun
Premolar pertama  1½ - 1¾ tahun       5 - 6 tahun             10 - 11 tahun
Premolar kedua      2 - 2¼ tahun         6 - 7 tahun             10 - 12 tahun
Molar satu               Pada lahir          2½ - 3 tahun              6 - 7 tahun
Molar dua               2½ - 3 tahun        7 - 8 tahun              12 - 13 tahun
Molar tiga               7 - 10 tahun      12 - 16 tahun             16 - 21 tahun
Insisivus sentralis       3 - 4 bulan         4 - 5 tahun                6 - 7 tahun
Insisivus lateralis        3 - 4 bulan         4 - 5 tahun                7 - 8 tahun
Kaninus                    4 - 5 bulan         6 - 7 tahun                9 - 10 tahun
Premolar pertama   1¾ - 2 tahun        5 - 6 tahun               10 - 12 tahun
Premolar kedua      2¼ - 2½ tahun     6 - 7 tahun               11 - 12 tahun
Molar satu               Pada lahir          2½ - 3 tahun               6 - 7 tahun
Molar dua              2½ - 3 tahun        7 - 8 tahun               11 - 13 tahun
Molar tiga                7 - 10 tahun       12 - 16 tahun           16 - 21 tahun

Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

Benih gigi mulai dibentuk sejak janin berusia 7 minggu dan berasal dari lapisan ektodermal serta mesodermal. Lapisan ektodermal berfungsi membentuk email dan odontoblast, sedangkan mesodermal membentuk dentin, pulpa, semen, membran periodontal, dan tulang alveolar. Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam tiga tahap, yaitu perkembangan, kalsifikasi, dan erupsi.

 Tahap Perkembangan Gigi

Tahap perkembangan adalah sebagai berikut:
1. Inisiasi (bud stage)
Merupakan permulaan terbentuknya benih gigi dari epitel mulut. Sel-sel tertentu pada lapisan basal dari epitel mulut berproliferasi lebih cepat daripada sel sekitarnya. Hasilnya adalah lapisan epitel yang menebal di regio bukal lengkung gigi dan meluas sampai seluruh bagian maksila dan mandibula.
2. Proliferasi (cap stage)
Lapisan sel-sel mesenkim yang berada pada lapisan dalam mengalami proliferasi, memadat, dan bervaskularisasi membentuk papila gigi yang kemudian membentuk dentin dan pulpa pada tahap ini. Sel-sel mesenkim yang berada di sekeliling organ gigi dan papila gigi memadat dan fibrous, disebut kantong gigi yang akan menjadi sementum, membran periodontal, dan tulang alveolar.
3. Histodiferensiasi (bell stage)
Terjadi diferensiasi seluler pada tahap ini. Sel-sel epitel email dalam (inner email epithelium) menjadi semakin panjang dan silindris, disebut sebagai ameloblas yang akan berdiferensiasi menjadi email dan sel-sel bagian tepi dari papila gigi menjadi odontoblas yang akan berdiferensiasi menjadi dentin.
4. Morfodiferensiasi
Sel pembentuk gigi tersusun sedemikian rupa dan dipersiapkan untuk
menghasilkan bentuk dan ukuran gigi selanjutnya. Proses ini terjadi sebelum deposisi
matriks dimulai. Morfologi gigi dapat ditentukan bila epitel email bagian dalam
tersusun sedemikian rupa sehingga batas antara epitel email dan odontoblas
merupakan gambaran dentinoenamel junction yang akan terbentuk. Dentinoenamel
junction mempunyai sifat khusus yaitu bertindak sebagai pola pembentuk setiap
macam gigi. Terdapat deposit email dan matriks dentin pada daerah tempat sel-sel
ameloblas dan odontoblas yang akan menyempurnakan gigi sesuai dengan bentuk
dan ukurannya.
5. Aposisi
Terjadi pembentukan matriks keras gigi baik pada email, dentin, dan
sementum. Matriks email terbentuk dari sel-sel ameloblas yang bergerak ke arah tepi
dan telah terjadi proses kalsifikasi sekitar

ANKILOSIS PADA SENDI TEMPOROMANDIBULA

TMJ
2.1 Defenisi
Ankilosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti kekakuan pada sendi akibat proses dari suatu penyakit. Ankilosis dapat didefenisikan sebagai penyatuan jaringan fibrous atau tulang antara kepala kondilar dengan fosa glenoidalis yang dapat menyebabkan keterbatasan dalam membuka mulut sehingga menimbulkan masalah dalam pengunyahan, berbicara, estetis, kebersihan mulut pasien dan masalah psikologis. 5,7-12 Ankilosis juga merupakan immobilisasi atau fiksasi sendi akibat keadaan yang patologis yang dapat bersifat intrakapsular atau ekstrakapsular.14
2.2 Anatomi Sendi Temporomandibula
Sendi temporomandibula merupakan suatu sendi atau perlekatan yang bilateral dan dapat bergerak yang menghubungkan antara mandibula dengan tulang tengkorak
Sendi temporomandibula didukung oleh :
1). Artikulasi tulang
Sendi temporomandibula terdiri dari persendian yang dibentuk oleh tulang, yang terdiri dari fosa glenoidalis dan prosesus kondilaris mandibula. Prosesus kondilaris ini berbentuk elips yang tidak rata apabila dilihat dari potongan melintang. Sedangkan permukaan artikular dari persendian dilapisi oleh jaringan fibrokartilago yang lebih banyak dibanding kartilago hialin.
2). Diskus Artikularis
Diskus tersusun dari tiga bagian, yaitu pita posterior dengan ketebalan 3 mm, zona intermediat yang tipis, dan pita anterior dengan ketebalan 2 mm.
3). Kapsula
Kapsula merupakan ligamen tipis yang memanjang dari bagian temporal fosa glenoidalis di bagian atas, bergabung dengan tepi meniskus, dan mencapai bawah leher prosesus kondilaris untuk mengelilingi seluruh sendi.
4). Ligamen
Ligamen-ligamen yang terdapat pada sendi temporomandibula yaitu ligamen temporomandibula, ligamen sphenomandibula,ligamen stylomandibula, dan ligamen malleolar mandibula. Ligamen tersebut berfungsi sebagai pelekat tulang dengan otot dan dengan tulang yang lain.
5). Suplai pembuluh darah dan saraf
Suplai saraf sensoris ke sendi temporomandibula didapat dari nervus aurikulotemporalis dan nervus masseter cabang dari nervus mandibularis. Jaringan pembuluh darah untuk sendi berasal dari arteri temporalis superfisialis yang merupakan cabang dari arteri carotis eksterna.
2.3 Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ankilosis sendi temporomandibula antara lain : 2,10,15
1). Trauma
Trauma merupakan penyebab utama dari ankilosis sendi temporomandibula. Menurut Ellis, fraktur kondilar khususnya fraktur pada leher kondilar merupakan penyebab utama terjadinya ankilosis pada sendi temporomandibula. Tetapi pada awal tahun 1978, Laskin menguraikan beberapa faktor yang mendukung terjadinya trauma pada mandibula sehingga mengakibatkan ankilosis yaitu :
a). Usia pasien
Pada pasien yang masih muda, kapsula belum berkembang dengan baik sehingga memudahkan dalam terjadinya pergeseran kondilar dari fosa glenoidalis.

b). Tingkat keparahan trauma
Kerusakan dari kondilus, diskus dan fosa dipengaruhi oleh derajat keparahan trauma.
c). Lokasi fraktur
Cedera pada intrakapsular mempunyai dampak yang lebih besar dalam terjadinya ankilosis.
d). Diskus artikularis
Kontak langsung antara kondilus yang patah dengan fosa glenoidalis dapat menyebabkan berkembangnya ankilosis.
e). Durasi immobilisasi
Laskin menyatakan bahwa meskipun percobaan untuk membuat ankilosis buatan dengan memperpanjang waktu dari fiksasi tidak berhasil, tetapi hal ini tidak menghilangkan peran dari durasi immobilisasi sebagai faktor etiologi.
2). Still’s disease ( Artritis kronik juvenil) dan artritis rhematoid
Kerusakan sendi secara kronik, deformitas dan terbatasnya pertumbuhan mandibula dapat disebabkan oleh penyakit oligoarticular rheumatoid juvenil.
3). Inflamasi pada sendi
Artritis septik dan artritis tuberkulosa dapat menyebabkan ankilosis.
4). Riwayat bedah pada sendi temporomandibula
Pada pasien yang telah mengalami pembedahan pada sendi temporomandibulanya apabila permukaan dari sendi tidak sembuh secara tepat maka permukaan tersebut akan lebih meradang dan jaringan yang fibrotik akan melekat pada diskus sehingga dapat berpotensi menjadi ankilosis.

5). Bedah ortognatik
Efek dari operasi bimaksiler pada kondilar telah diketahui secara jelas dimana perubahan-perubahan pada posisi kondilar dapat mempengaruhi artikulasi dan fungsi secara signifikan.
6).Penyebab lainnya
Ankilosis kongenital biasanya dihubungkan dengan forcep yang digunakan pada waktu melahirkan dimana forcep tersebut menyebabkan kerusakan pada sendi temporomandibula pada neonatus.
2.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi yang dipergunakan untuk menjelaskan ankilosis sendi temporomandibula. Topazian (1966) mengklasifikasikan ankilosis sendi temporomandibula antara lain : 2

1) Tipe I

Perlekatan fibrous pada atau di sekitar sendi yang membatasi pergerakan kondilar.

2) Tipe II.

Pembentukan tulang antara kondilus dan fosa glenoidalis

3) Tipe III

Penyatuan leher kondilus pada fosa secara menyeluruh.
Kazanjian mengklasifikasikan ankilosis sendi temporomandibula sebagai berikut :

1) Ankilosis murni/ ankilosis intra artikular

Suatu kondisi dimana terjadi perlekatan tulang atau fibrous terhadap sendi.

2) Pseudoankilosis/ ankilosis ekstra artikular

Ankilosis yang terjadi akibat penyakit yang tidak berhubungan secara langsung dengan sendi.
Selain itu, terdapat juga klasifikasi menurut Sawhney yang mengklasifikasikan ankilosis sendi temporomandibula antara lain : 7,11

1) Tipe I

Pembentukan tulang yang minimal, tetapi perlekatan fibrous meluas sampai di sekitar sendi.

2) Tipe II

Terjadi pembentukan tulang khususnya pada pinggiran permukaan sendi.

3) Tipe III

Pembentukan tulang antara mandibula dengan tulang temporal.

4) Tipe IV

Digantikannya sendi dengan massa tulang.
2.5 Gejala Klinis
Gejala-gejala yang diakibatkan oleh ankilosis pada sendi temporomandibula dapat dilihat dari aspek fungsional,estetis, dan psikologi. Ankilosis pada mandibula dapat menyebabkan yaitu: 9
1). Keterbatasan pada pergerakan rahang
2). Berkurangnya fungsi pengunyahan
3). Keterbatasan pada pembukaan mulut
4). Terhambatnya pertumbuhan wajah
5). Pengucapan yang tidak jelas
6). Pertumbuhan mandibula berkurang sehingga menyebabkan bird face
7). Asimetri pada wajah apabila ankilosis terjadi hanya pada satu sisi
8). Susah bernafas dan menelan
9). Mendengkur dan susah bernafas saat tidur
10).Gigi yang tidak teratur akibat kurangnya ruang untuk erupsi komponen gigi yang normal.
2.6 Diagnosa ankilosis sendi temporomandibula
Diagnosa dari penyakit atau gangguan fungsi sendi temporomandibula dilakukan dengan pemeriksaan riwayat pasien, pemeriksaan klinis yang hati-hati dan terkadang membutuhkan pemeriksaan tambahan yaitu artroskopi. Diagnosa dari penyakit atau gangguan fungsi sendi temporomandibula juga tergantung pada ketepatan interpretasi hasil foto rontgen.1,14
2.6.1 Riwayat penyakit
Keluhan yang dirasakan oleh penderita ankilosis sendi temporomandibula yaitu :

1) Perubahan luas pergerakan pembukaan mulut/ trismus

Pada penderita sendi temporomandibula dapat dilihat berkurangnya luas pergerakan yang nyata, khususnya pada jarak antar insisal.

2) Perubahan oklusi

Beberapa penderita mengeluhkan perubahan pada gigitan, dimana gigi penderita tidak terkatup secara tepat.

3) Perawatan sebelumnya

Informasi mengenai perawatan sebelumnya juga dapat membantu dalam menegakkan diagnosa. Dilakukan pencatatan kronologi perawatan sebelumnya khususnya perawatan bedah pada sendi temporomandibula.
2.6.2 Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis pada penderita ankilosis sendi temporomandibula dapat didasarkan atas pemeriksaan terhadap :

1) Oklusi

Dilakukan pemeriksaan pada gigi secara menyeluruh dengan memperhatikan faktor oklusi. Gangguan oklusi secara umum bisa langsung diperiksa.

2) Pembukaan antar insisal

Evaluasi luas pergerakan mandibula yang diukur dengan penggaris dengan skala milimeter atau jangka.

3) Pergerakan lain

Pengukuran pergeseran secara lateral biasanya pada titik atau garis tengah kemudian dibandingkan kesimetrisannya.

4) Deviasi

Deviasi pada mandibula sewaktu membuka mulut atau protrusi dapat terlihat dengan jelas.
2.6.3 Radiografi
Radiografi yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa dari ankilosis sendi temporomandibula yaitu : 6,13

1. Orthopantomograph dapat digunakan untuk melihat kedua sendi temporomandibula sehingga dapat dibandingkan jika ankilosis hanya mengenai satu sisi.

2. Foto TMJ transkranial dapat digunakan untuk menentukan diagnosis perubahan yang menyangkut jaringan tulang dan adanya keterbatasan pergerakan dengan cara membandingkan posisi prosesus kondilaris dua sisi dalam keadaan terbuka dan tertutup

3. Computed Tomography Scan (CT-scan) dapat digunakan untuk mengukur lebar anteroposterior dan relasi sendi terhadap fosa kranio media. Selain itu, 3D CT-scan juga dapat memberikan gambaran deformitas yang nyata.

Pada pemeriksaan radiografi, sendi temporomandibula yang terkena ankilosis akan menunjukkan gambaran adanya kehilangan bentuk sendi yang normal dengan penyatuan prosesus kondiloideus dan fosa glenoidalis. Dimana luasnya bervariasi dan tergantung pada keparahan ankilosis tersebut.2,17

Pada tahun 1980, computed tomography scan (CT-scan) mulai diaplikasikan pada ankilosis sendi temporomandibula. Pemeriksaan ankilosis sendi temporomandibula dengan menggunakan CT-scan dalam arah sagital, koronal, aksial menunjukkan terjadinya perluasan dan kepadatan massa tulang dan penebalan pada tulang temporal di daerah glenoid. Massa ankilosis mempunyai gambaran yang khas bila dilihat dari pandangan koronal, dimana gambarannya terlihat seperti bentuk jamur. CT-scan juga dapat memberikan gambaran yang jelas ankilosis yang disebabkan secara ekstra artikular.2,4
2.6.4 Pemeriksaan dengan Artroskopi
Pemeriksaan ankilosis sendi temporomandibula secara diagnostik khusus dilakukan dengan menggunakan artroskopi pada sendi temporomandibula. Artroskopi adalah suatu prosedur yang melibatkan serat optik kecil yang disisipkan kepada celah diatas sendi sehingga memungkinkan dilakukannya pengamatan pada struktur sendi temporomandibula serta untuk mengatasi terbatasnya akses pada sendi temporomandibula sewaktu pembedahan. Artroskopi dapat digunakan sebagai diagnostik dan sebagai terapi. Artroskopi secara diagnostik diindikasikan saat pemeriksaan langsung pada sendi diperlukan untuk memastikan dugaan kelainan klinis yang tidak mudah dipastikan dengan prosedur diagnostik yang lain.1
Pemeriksaan ini dilakukan dengan artroskop berdiameter luar 2,4 mm dan 2,7 mm dan diameter optikal 1,7 mm dan 2,4 mm. Lensa pembesar bervariasi dari pembesaran 1 x hingga 15 x tergantung pada jarak antara obyek dan ujung artroskop. Prosedur ini dilakukan dengan bantuan anastesi local.

source :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16849/4/Chapter%20II.pdf

SARIAWAN

Mengatasi Sariawan

Sariawan atau stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun berkelompok. Sariawan dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut. Meskipun tidak tergolong berbahaya, namun sariawan sangat mengganggu.


Sariawan dapat disebabkan oleh kondisi mulut itu sendiri, seperti kebersihan mulut yang buruk, pemasangan gigi palsu, luka pada mulut karena makanan atau minuman yang terlalu panas, dan kondisi tubuh, seperti adanya alergi atau infeksi.


Sariawan identik dengan kekurangan vitamin C. Kekurangan vitamin itu memang mengakibatkan jaringan di dalam rongga mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya menyebabkan sariawan. Namun, kondisi tersebut dapat diatasi jika kita sering mengonsumsi buah dan sayuran.


Sariawan umumnya ditandai dengan rasa nyeri seperti terbakar yang terkadang menyebabkan penderita sulit untuk menelan makanan, dan bila sudah parah dapat menyebabkan demam. Gangguan sariawan dapat menyerang siapa saja, termasuk bayi yang masih berusia 6-24 bulan.


Banyak penelitian menunjukkan bahwa faktor psikologis (seperti emosi dan stres) juga merupakan faktor penyebab terjadinya sariawan. Kondisi lainnya yang diduga memicu sariawan yaitu kekurangan vitamin B, vitamin C, serta zat besi; luka tergigit pada bibir atau lidah akibat susunan gigi yang tidak teratur; luka karena menyikat gigi terlalu keras atau bulu sikat gigi yang sudah mengembang; alergi terhadap suatu makanan (seperti cabai dan nanas); gangguan hormonal (seperti sebelum atau sesudah menstruasi); menurunnya kekebalan tubuh (setelah sakit atau stres yang berkepanjangan); dan adanya infeksi oleh mikroorganisme.


Sariawan dapat diredakan dengan menggunakan beberapa jenis obat, baik dalam bentuk salep (yang mengandung?antibiotika dan penghilang rasa sakit), obat tetes, maupun obat kumur. Saat ini, sudah banyak tersedia pasta gigi yang dapat mengurangi terjadinya sariawan. Jika sariawan sudah terlanjur parah, dapat digunakan antibiotika dan obat penurun panas (bila disertai dengan demam). Sariawan umumnya akan sembuh dalam waktu 4 hari. Namun, bila sariawan tidak kunjung sembuh, segera periksakan ke dokter, karena hal itu dapat menjadi gejala awal adanya kanker mulut.


Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sariawan, antara lain yaitu menghindari kondisi stres; sering mengonsumsi buah dan sayuran, terutama yang mengandung vitamin B, vitamin C, dan zat besi; menjaga kesehatan atau kebersihan gigi dan mulut; serta menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada rongga mulut.


source : http://www.dechacare.com/Mengatasi-Sariawan-I284.html